Ya Allah,, aku sadar mungkin aku
salah dalam bersikap .. aku nyaris dibutakan oleh cintaku padanya. Tapi sungguh
aku tak pernah sedikitpun menginginkan perselisihan ini terjadi, perselisihan
yang terjadi setelah sekian lama pertemanan ini terjalin, disaat salah satu
individu merasa terluka dan saling membantu, pertemanan yang (aku ingat) tidak
selalu menerapkan simbiosis mutualisme.
Kucoba mengingat awal aku
berjabat tangan dengannya, 23 Maret 2011. Malam dimana aku merayakan acara
reuni dengan semua teman-teman SD’ku dulu. Bertempat di Kafe Coebain Alaya,
malam itu ramai dengan celoteh setiap pengunjung yang dating, setiap stan yang
telah disediakan oleh pengelola kafe telah penuh terisi.
Awalnya aku tak memperdulikan
mereka yang berada disana, aku tak berniat untuk bersikap sombong. Tapi aku
lakukan itu semua agar aku tak disangka sok kenal dengan pengunjung yang ada
disitu. Aku bersyukur, dengan apa yang ada di dalam diriku. Aku bersyukur
dengan senyum yang terus menghiasi wajahku ini. Aku bersyukur saat ini ada tak
ada seorang pun yang menyatakan hal tidak suka’nya padaku.
Malam nyaris larut, acara reuni
itu pun berakhir. Kusuruh teman-temanku bergegas meninggalkan tempat acara itu
agar aku bisa membantu sang pengelola kafe untuk membereskan wadah-wadah yang
telah digunakan itu. Sang pengelola kafe yang aku sudah kenal lama dari
komunitas Slankers, tak lain tak tak bukan adalah Bang Heri. Abang yang kerap
menolongku dan menenangkanku saat aku ada masalah batin maupun fisik. Abang
yang telah ku anggap sebagai Abangku sendiri, karena aku merupakan anak pertama
yang sebenarnya merindukan sosok kakak yang bisa selalu mengawasi aku.
Dia menyapaku, “istirahat dulu
Nyun, !!”
Aku pun mendengarkan apa yang dia
ucapkan dan kemudian menghampirinya yang tengah berkumpul dengan segerombolan
pengunjung kafe malam itu. Aku duduk dan meluruskan kakiku, yang aku sadar
sejak habis maghrib aku belum sempat duduk dan beristirahat karena harus
menyiapkan hidangan untuk teman-temanku yang sedang mengadakan acara. Aku
mengobrol dengan orang-orang yang aku kenal ditengah gerombolan itu, ku sapa
Bang Zaki, Bang Igum dan Bang Sigit. Abang-abang baru yang selalu bertiga dan
aku sering menjulukinya, pasangan sepaket.
Cukup lama perbincanganku dengan
Bang Zaki, abang yang lebih akrab denganku dibanding Bang Sigit ataupun Bang
Igum. Meski tak lama sebelum malam itu, aku telah menjalani suatu pendekatan
dalam berhubungan dengan Bang Sigit. Dalam hati aku merasa ketenangan dan
merasa lega, meski aku tak jadi menjalin hubungan yang serius dengan Bang
Sigit. Tak ingin kujelaskan kenapa aku tak menyukainnya setelah aku beberapa
kali jalan dengannya. Aku sadar, tak ada manusia yang sempurna di dunia ini.
Semua memiliki kekurangan dan kelebihan.
Entah kenapa aku mencoba keras
untuk mengingat kejadian-kejadian malam itu hingga kutumpahkan semuanya menjadi
tulisan seperti ini. Aku sedih ya ALLAH, aku sedih semua ini berakhir secepat
ini dan tertutup dengan episode yang tidak mengenakkan.
Aku berdiri dan beranjak
membereskan barang-barangku dan kemudian pergi. Sebelum pergi, entah karena
kebiasaanku yang telah di ajarkan respect oleh setiap nkomunitas band yang aku
singgahi, atau karena aku tak mau dianggap sombong, atau bahkan karena aku
ingin berjabat tangan dengan para lelaki yang ada dalam gerombolan itu. Ah
entahlah, fikiranku saat itu : aku adalah manusia yang tak mungkin hidup
sendiri, maka dari itu aku harus baik dengan setiap orang dan mencoba menanam
benih kebaikan dimana pun aku berada.
Aku berjabat tangan dengan
beberapa pria, dan satu orang wanita. Wanita yang tak kusangka akan hadir dan
mengisi daftar persahabatanku. Dia tak lain adalah Norma Yunita. Tak pernah ku
ketahui sebelumnya, bahwa mereka itu adalah komunitas jejaringan social yang
bernamakan Koprol. Maklumlah, aku tak terlalu mengurusi jejaringan social,
karena aku saat itu sedang asik dan sibuk dengan komunitas Slankers’ku.
Seperti halnya roda kehidupan
yang terus berputar, sesekali kita memang tak bisa menolak jika kita sedang
berada pada posisi dibawah. Mungkin itu kalimat yang hampir cocok untuk kisahku
kala itu. Saat komunitas slankers’ku sedang mengalami sedikit konflik karena
hadirnya minuman keras di tengah anggota, aku sering mengunjungi Abangku Heri
untuk berkonsultasi mengenai kelanjutan komunitas ini. Dia yang ku anggap
mengerti, bisa menolongku.
Suatu malam aku datang padanya,
tampak olehku tenda kafe yang roboh akibat guncangan angin kencang. Aku
menghampirinya dan mencoba untuk membantunya, tapi aku sadar kalau aku tak
mungkin kuat menopang tiang besi penyangga tenda itu. Kuliat dua sosok pria
menemaninya, aku lupa jika dua orang pria itu adalah orang yang sama saat
berjabatan tangan denganku pada malam reunian itu.
Dia melempar senyum padaku, dan
aku membalasnya. Aku menepi dari tenda yang rebah itu, menyelamatkan diri. Tak
lama setelah tenda itu kembali berdiri, aku pun bergegas menyiapkan kursi-kursi
untuk kami semua. Ku akui wajahnya memang manis, aku suka dengan body dan
perawakannya yang dinamis. Tapi aku berusaha menjaga hati, karena aku cukup
lelah dengan hubungan yang aku jalani hanya seumur jagung. Aku tak ingin
bermain-main dalam mencari pasangan hidup.
Kita mulai berkenalan, tersenyum
tersipu sambil malu-malu. Indah sekali awal perkenalan itu, kami bernyanyi
bersama hingga waktu yang memisahkan kita. Malam hampir menyentuh larut malam,
aku lupa kapan harus kumasukkan Norma dalam cerita ini. Aku berpamitan dengan
semua yang ada disitu.
Berselang beberapa bulan lamanya,
aku dan dia (Cannabis / Taufik) semakin akrab. Kami sering berkomunikasi, entah
melalui telpon ataupun sms. Kami sering janjian untuk datang ke Kafe bareng.
Pernah suatu malam, Cannabis dan
Bang Heri dantang berkunjung mengemasi baju-baju bekas untuk disumbangkan
kepada korban kebakaran di sekitar Kafe. Itu awal mulanya dia meluhatku tanpa
mengenakan jilbab, satu kata yang terucap dari mulutnya “cantik”. Wanita mana
yang tak tergetar hatinya saat seorang lelaki mengatakan itu padanya.
Mengingat kafe yang sering
tertimpa masalah, aku pun ikut prihatin. Karena aku menyangka bahwa kafe itu
adalah pencaharian tunggal Abangku. Setelah mengetahui titik masalahnya, hatiku
pun tergugah dan aku menawarkan suatu kaputusan yang aku ambil sendiri tanpa
sepengetahuan kedua orang tuaku.
Aku berkeinginan menanamkan
uangku sebagai modal kelanjutan Kafe itu, dengan iming-imingan pembagian hasil
yang cukup besar. Serta di imingi kesempatan agar aku bisa terus bersama
Cannabis, aku pun luluh dengan bujukan Abangku. Uang tunai telah aku berikan padanya untuk membayar biaya perpanjangan sewa kafe
itu. Entah apa yang ada dalam pikiranku saat itu, bisanya aku mengeluarkan
sejumlah uang itu tanpa sepengatahuan orang tuaku. Sungguh keputusan yang amat
sangat egois.
Ya ALLAH,, maafkan aku atas
keegoisan ini.. tak kan ku ulangi kesalahan yang sama ini ya ALLAH. Aku malu
atas kelakuanku ini. Hingga akhirnnya, aku
masih terus sembunyikan kesalahanku ini dari kedua orang tuaku.
Entah malam keberapa
kebersamaanku dengan mereka, malam itu Norma datang dengan membawa adonan
gorengan. Kita masak adonan itu dan kita santap bersama. Ku akui, Norma memang
baik. Sempat beberapa kali aku dan Bang Heri membicarakannya karena
mengkhawatirkannya. Kami mengkhawatirkan kalau-kalau kebaikannya disalahgunakan
oleh teman-teman disekeliling kita. Royal, mungking kata itu cocok untuk dia.
Wanita yang selalu membawa buah tangan saat ia datang untuk berkumpul. Wanita
yang selalu ikut tergabung dalam seksi super sibuk, saat keluarga dadakan ini
ingin mengadakan acara. Entah itu hanya acara makan-makan ataupun acara
perjalanan mengunjungi sebuah kota-kota terdekat.
Pernah suatu waktu ia datang
kerumahku untuk menggoreng udang, dimana udang tersebut hanya ia siapkan untuk
teman-teman santap. Peringatan dari mami ku tersayang ternyata belum membukakan
hatinya, dan maklumi itu. Entah salah atau benar yang aku fikirkan saat itu.
Aku merasa ia adalah wanita kesepian yang hingga usianya saat ini, ia belum
juga mendapatkan pendamping hidup. Aku tak ingin mengangkat fikiranku ini untuk
dibicarakan pada siapa pun, terutama Bang Heri. Aku ingin menjaga apa yang aku
rasakan, dan tak semua yang aku rasakan harus diketahui oleh orang lain.
Aku hanya bisa berdiam mengikuti
arus pertemanan kita ini berjalan, aku senang dan tidak menghiraukan yang lain.
Yang kufikirkan saat ini adalah kejelasan hubunganku dengan Cannabis, hubungan
yang sudah memakan waktu berbulan-bulan. Hingga saat ini belum menemukan titik
terang. Aku bertahan dengan gantungnya hubungan ini, meski kurasakan sakit yang
tiada kira. Kami sering jalan, dan membuat janji yang entah kemana tujuan kita
nanti. Terkadang terjatuh air mataku karna memikirkan ini. Tapi teman-teman di
sekelilingku, selalu menguatkanku.
Kala itu, kami berniat untuk
menjelajah ke kota sebelah. Muara Badak, itulah tempat yang akan kami kunjungi.
Aku senang kebersamaan ini masih terekam dalam keadaan yang kondusif.
Keberangkatan kami di hiasi dengan canda tawa tiap anggota, senyum sumringah
menghiasi wajah kami semua.
Sesampainya disana, kedatangan
kami disambut hangat dengan anggota slankers Muara Badak. Aku sangat senang
sekali melihat kawan-kawan seperjuanganku yang membela aliran music SLANK.
Kurang lebih enam-tujuh jam kami bercengkrama dengan kawan-kawan dari Muara
Badak. Mereka menyediakan kami menu makan siang yang sederhana tapi nikmat
sekali. Tak terlupakan masa-masa kala itu. Terimakasih kawan.
Hujan turun mengguyur kunjungan
kami saat itu, tak ingin terlewatkan masa-masa itu, mereka pun pergi
mengunjungi tengah pantai sambil mandi hujan. Hujan deras dihiasi dengan petir
dan halilintar yang menggelegar tak meredupkan semangat mereka saat itu. Aku
hanya bisa terdiam di dalam pendopo sambil bernyanyi dengan kawan-kawan
slankers dari Badak yang masih enggan membasahi tubuhnya dengan air hujan.
Hujan hampir reda, terdengar
suara burung dilangit bersaut-sautan pertanda hujan akan berhenti. Kami pun
memutuskan untuk pulang. Ku abaikan basahnya badan abangku, entah kenapa baju
kering yang aku bawa langsung aku serahkan pada cannabis. Sungguh telah jatuh
terlalu dalam kecerobohanku ini. Dan kami bergegas pergi kembali menuju
Samarinda. Sungguh tak kusangka, aku harus
menahan rasa sakit seperti ini. Perasaan yang terus aku tahan entah sampai
kapan aku harus menahannya. Entah karena bodohnya aku, yang masih bertahan
dalam keadaan seprti ini.
Disisi lain Allah memberikan aku
balasan yang sesuai, aku menganggapnya ini adalah karma. Usaha kafe yang aku
bangun dengan Bang Heri sama sekali tak membuahkan hasil, usaha tersebut tutup
sebelum batas waktu pembayaran jatuh tempo. Aku mencoba mendesak Bang Heri
untuk membayar hutangnya padaku, karena aku sedang memerlukan uang. Tapi Bang
Heri hanya mengumbar janji dan ada bukti yang menyertai.
Kafe itu tutup, kami pun jarang
bertemu. Hanya berkomunikasi melalui telepon, begitu juga dengan Cannabis. Aku
terus menghubungi Bang Heri dan menuntuk hak’ku kembali. Mungkin ia kesal
padaku, hingga pada saat terakhir kali ia mengembalian uangku, ia melemparkan
uang itu tepat dihadapan mataku. Aku hanya bisa terdiam, dia Abangku. Aku
berfikiran hubungan kita sudah pasti akan memburuk setelah kejadian ini, maka
dari itu aku tak ingin memperpanjang masalah. Bukan karena nyaliku ciut atau
apa, karena memang tak biasanya aku hanya terdiam seperti itu saat orang lain
menyakitiku.
Dugaanku benar, dia menyindirku
di jejaringan social facebook ataupun koprol. aku coba acuhkan tingkah laku
bang Heri yang menyakitkan itu, ku coba untuk memikirkan kelanjutan kisahku dengan
Cannabis yang tak kunjung menemui titik terang. Meski ia sempat mengajakku
untuk jalan-jalan ketempat-tempat yang romantic. Hingga akhirnya ia mengajakku
ke Pinang Seribu, tempat dimana ia pertama kali bibirnya menyentuh bibirku. Oh
tidak, sakiit sekali kala mengingat hal itu.
Kulupakan dia, ku coba untuk
menjauhinya. Meski aku sering mengintip profil facebooknya. Hubungan ini
semakin keruh, saat kulihat komentar-komentar dia yang berdoa agar segera
dipertemukan dengan pendamping hidupnya. Dari situ aku berfikir, berarti aku
bukanlah wanita yang ia harapkan. Lagi dan lagi aku terdiam dan hanya bisa
menangisi keadaan. Aku tak kuat, jujur aku tak kuat.
Norma lah yang terus mensupport
aku untuk tetap bangkit dan berfikir positif. Kadang aku mendengarkan dia,
tetapi kadang juga egoisku mengalahkan nasihat-nasihat dari dia.
Hingga suatu malam, Norma
mengajakku untuk mengikuti Kopdar mini pengguna koprol di Puella Kafe. Sesak
nafasku melihat Cannabis sedang asik bercanda dengan gadis cantik yang ikut
dalam acara itu. Biar kutebak, Dessy nama gadis cantik itu. Rasa ingin meleleh
jadi air yang mengalir hatiku. Aku duduk di pendopo, bersandar dan membelakangi
dia. Berharap aku tak akan melihat
wajahnya lagi.
Tak bisa kupungkiri, aku senang
saat respon para peserta kopdar itu yang menerimaku dengan senang hati. Kulihat
wajah tampannya Rizki, wajah lucunya Sams. Hingga tak lama aku duduk di pendopo
itu, muncul seorang pria yang saat ini menjadi kekasihku, Marcekal. Awal
pertemuan yang sangat unik, kulihat tingkah konyolnya yang nyaris salah meminum
minumanku. Tak lama perbicaraan kami saat itu, maklumlah mungkin karena kami
semua masih malu lantaran baru bertemu. Satu jembatan yang membuat hubungan itu
berlanjut adalah, pertukaran account twitter kami. (mau ketawa ngingetnya).
Pertemuan keduaku dengan
sayangku, adalah waktu kami mengikuti buka puasa bareng di panti asuhan. Tak
kusangka ia menyimpan rasa padaku, karena memang tak terlalu nampak. Cukup
rumit saat itu, Sams menyukaiku, tapi aku tak menyukainya. Aku menyukai Rizki,
tapi Rizki tak terlalu meresponku. Hahahaha…. Sudahlah, dunia memang kejam !