Kamis, 07 Juni 2012

Kamu Yang Masih Ku Anggap


Ya Allah,, aku sadar mungkin aku salah dalam bersikap .. aku nyaris dibutakan oleh cintaku padanya. Tapi sungguh aku tak pernah sedikitpun menginginkan perselisihan ini terjadi, perselisihan yang terjadi setelah sekian lama pertemanan ini terjalin, disaat salah satu individu merasa terluka dan saling membantu, pertemanan yang (aku ingat) tidak selalu menerapkan simbiosis mutualisme.

Kucoba mengingat awal aku berjabat tangan dengannya, 23 Maret 2011. Malam dimana aku merayakan acara reuni dengan semua teman-teman SD’ku dulu. Bertempat di Kafe Coebain Alaya, malam itu ramai dengan celoteh setiap pengunjung yang dating, setiap stan yang telah disediakan oleh pengelola kafe telah penuh terisi.

Awalnya aku tak memperdulikan mereka yang berada disana, aku tak berniat untuk bersikap sombong. Tapi aku lakukan itu semua agar aku tak disangka sok kenal dengan pengunjung yang ada disitu. Aku bersyukur, dengan apa yang ada di dalam diriku. Aku bersyukur dengan senyum yang terus menghiasi wajahku ini. Aku bersyukur saat ini ada tak ada seorang pun yang menyatakan hal tidak suka’nya padaku.

Malam nyaris larut, acara reuni itu pun berakhir. Kusuruh teman-temanku bergegas meninggalkan tempat acara itu agar aku bisa membantu sang pengelola kafe untuk membereskan wadah-wadah yang telah digunakan itu. Sang pengelola kafe yang aku sudah kenal lama dari komunitas Slankers, tak lain tak tak bukan adalah Bang Heri. Abang yang kerap menolongku dan menenangkanku saat aku ada masalah batin maupun fisik. Abang yang telah ku anggap sebagai Abangku sendiri, karena aku merupakan anak pertama yang sebenarnya merindukan sosok kakak yang bisa selalu mengawasi aku.

Dia menyapaku, “istirahat dulu Nyun, !!”

Aku pun mendengarkan apa yang dia ucapkan dan kemudian menghampirinya yang tengah berkumpul dengan segerombolan pengunjung kafe malam itu. Aku duduk dan meluruskan kakiku, yang aku sadar sejak habis maghrib aku belum sempat duduk dan beristirahat karena harus menyiapkan hidangan untuk teman-temanku yang sedang mengadakan acara. Aku mengobrol dengan orang-orang yang aku kenal ditengah gerombolan itu, ku sapa Bang Zaki, Bang Igum dan Bang Sigit. Abang-abang baru yang selalu bertiga dan aku sering menjulukinya, pasangan sepaket.

Cukup lama perbincanganku dengan Bang Zaki, abang yang lebih akrab denganku dibanding Bang Sigit ataupun Bang Igum. Meski tak lama sebelum malam itu, aku telah menjalani suatu pendekatan dalam berhubungan dengan Bang Sigit. Dalam hati aku merasa ketenangan dan merasa lega, meski aku tak jadi menjalin hubungan yang serius dengan Bang Sigit. Tak ingin kujelaskan kenapa aku tak menyukainnya setelah aku beberapa kali jalan dengannya. Aku sadar, tak ada manusia yang sempurna di dunia ini. Semua memiliki kekurangan dan kelebihan.

Entah kenapa aku mencoba keras untuk mengingat kejadian-kejadian malam itu hingga kutumpahkan semuanya menjadi tulisan seperti ini. Aku sedih ya ALLAH, aku sedih semua ini berakhir secepat ini dan tertutup dengan episode yang tidak mengenakkan.

Aku berdiri dan beranjak membereskan barang-barangku dan kemudian pergi. Sebelum pergi, entah karena kebiasaanku yang telah di ajarkan respect oleh setiap nkomunitas band yang aku singgahi, atau karena aku tak mau dianggap sombong, atau bahkan karena aku ingin berjabat tangan dengan para lelaki yang ada dalam gerombolan itu. Ah entahlah, fikiranku saat itu : aku adalah manusia yang tak mungkin hidup sendiri, maka dari itu aku harus baik dengan setiap orang dan mencoba menanam benih kebaikan dimana pun aku berada.

Aku berjabat tangan dengan beberapa pria, dan satu orang wanita. Wanita yang tak kusangka akan hadir dan mengisi daftar persahabatanku. Dia tak lain adalah Norma Yunita. Tak pernah ku ketahui sebelumnya, bahwa mereka itu adalah komunitas jejaringan social yang bernamakan Koprol. Maklumlah, aku tak terlalu mengurusi jejaringan social, karena aku saat itu sedang asik dan sibuk dengan komunitas Slankers’ku.
Seperti halnya roda kehidupan yang terus berputar, sesekali kita memang tak bisa menolak jika kita sedang berada pada posisi dibawah. Mungkin itu kalimat yang hampir cocok untuk kisahku kala itu. Saat komunitas slankers’ku sedang mengalami sedikit konflik karena hadirnya minuman keras di tengah anggota, aku sering mengunjungi Abangku Heri untuk berkonsultasi mengenai kelanjutan komunitas ini. Dia yang ku anggap mengerti, bisa menolongku.

Suatu malam aku datang padanya, tampak olehku tenda kafe yang roboh akibat guncangan angin kencang. Aku menghampirinya dan mencoba untuk membantunya, tapi aku sadar kalau aku tak mungkin kuat menopang tiang besi penyangga tenda itu. Kuliat dua sosok pria menemaninya, aku lupa jika dua orang pria itu adalah orang yang sama saat berjabatan tangan denganku pada malam reunian itu.

Dia melempar senyum padaku, dan aku membalasnya. Aku menepi dari tenda yang rebah itu, menyelamatkan diri. Tak lama setelah tenda itu kembali berdiri, aku pun bergegas menyiapkan kursi-kursi untuk kami semua. Ku akui wajahnya memang manis, aku suka dengan body dan perawakannya yang dinamis. Tapi aku berusaha menjaga hati, karena aku cukup lelah dengan hubungan yang aku jalani hanya seumur jagung. Aku tak ingin bermain-main dalam mencari pasangan hidup.

Kita mulai berkenalan, tersenyum tersipu sambil malu-malu. Indah sekali awal perkenalan itu, kami bernyanyi bersama hingga waktu yang memisahkan kita. Malam hampir menyentuh larut malam, aku lupa kapan harus kumasukkan Norma dalam cerita ini. Aku berpamitan dengan semua yang ada disitu.
Berselang beberapa bulan lamanya, aku dan dia (Cannabis / Taufik) semakin akrab. Kami sering berkomunikasi, entah melalui telpon ataupun sms. Kami sering janjian untuk datang ke Kafe bareng.
Pernah suatu malam, Cannabis dan Bang Heri dantang berkunjung mengemasi baju-baju bekas untuk disumbangkan kepada korban kebakaran di sekitar Kafe. Itu awal mulanya dia meluhatku tanpa mengenakan jilbab, satu kata yang terucap dari mulutnya “cantik”. Wanita mana yang tak tergetar hatinya saat seorang lelaki mengatakan itu padanya.

Mengingat kafe yang sering tertimpa masalah, aku pun ikut prihatin. Karena aku menyangka bahwa kafe itu adalah pencaharian tunggal Abangku. Setelah mengetahui titik masalahnya, hatiku pun tergugah dan aku menawarkan suatu kaputusan yang aku ambil sendiri tanpa sepengetahuan kedua orang tuaku.
Aku berkeinginan menanamkan uangku sebagai modal kelanjutan Kafe itu, dengan iming-imingan pembagian hasil yang cukup besar. Serta di imingi kesempatan agar aku bisa terus bersama Cannabis, aku pun luluh dengan bujukan Abangku. Uang tunai telah aku berikan padanya untuk membayar biaya perpanjangan sewa kafe itu. Entah apa yang ada dalam pikiranku saat itu, bisanya aku mengeluarkan sejumlah uang itu tanpa sepengatahuan orang tuaku. Sungguh keputusan yang amat sangat egois.

Ya ALLAH,, maafkan aku atas keegoisan ini.. tak kan ku ulangi kesalahan yang sama ini ya ALLAH. Aku malu atas kelakuanku ini. Hingga akhirnnya, aku  masih terus sembunyikan kesalahanku ini dari kedua orang tuaku.
Entah malam keberapa kebersamaanku dengan mereka, malam itu Norma datang dengan membawa adonan gorengan. Kita masak adonan itu dan kita santap bersama. Ku akui, Norma memang baik. Sempat beberapa kali aku dan Bang Heri membicarakannya karena mengkhawatirkannya. Kami mengkhawatirkan kalau-kalau kebaikannya disalahgunakan oleh teman-teman disekeliling kita. Royal, mungking kata itu cocok untuk dia. Wanita yang selalu membawa buah tangan saat ia datang untuk berkumpul. Wanita yang selalu ikut tergabung dalam seksi super sibuk, saat keluarga dadakan ini ingin mengadakan acara. Entah itu hanya acara makan-makan ataupun acara perjalanan mengunjungi sebuah kota-kota terdekat.

Pernah suatu waktu ia datang kerumahku untuk menggoreng udang, dimana udang tersebut hanya ia siapkan untuk teman-teman santap. Peringatan dari mami ku tersayang ternyata belum membukakan hatinya, dan maklumi itu. Entah salah atau benar yang aku fikirkan saat itu. Aku merasa ia adalah wanita kesepian yang hingga usianya saat ini, ia belum juga mendapatkan pendamping hidup. Aku tak ingin mengangkat fikiranku ini untuk dibicarakan pada siapa pun, terutama Bang Heri. Aku ingin menjaga apa yang aku rasakan, dan tak semua yang aku rasakan harus diketahui oleh orang lain.

Aku hanya bisa berdiam mengikuti arus pertemanan kita ini berjalan, aku senang dan tidak menghiraukan yang lain. Yang kufikirkan saat ini adalah kejelasan hubunganku dengan Cannabis, hubungan yang sudah memakan waktu berbulan-bulan. Hingga saat ini belum menemukan titik terang. Aku bertahan dengan gantungnya hubungan ini, meski kurasakan sakit yang tiada kira. Kami sering jalan, dan membuat janji yang entah kemana tujuan kita nanti. Terkadang terjatuh air mataku karna memikirkan ini. Tapi teman-teman di sekelilingku, selalu menguatkanku.

Kala itu, kami berniat untuk menjelajah ke kota sebelah. Muara Badak, itulah tempat yang akan kami kunjungi. Aku senang kebersamaan ini masih terekam dalam keadaan yang kondusif. Keberangkatan kami di hiasi dengan canda tawa tiap anggota, senyum sumringah menghiasi wajah kami semua.
Sesampainya disana, kedatangan kami disambut hangat dengan anggota slankers Muara Badak. Aku sangat senang sekali melihat kawan-kawan seperjuanganku yang membela aliran music SLANK. Kurang lebih enam-tujuh jam kami bercengkrama dengan kawan-kawan dari Muara Badak. Mereka menyediakan kami menu makan siang yang sederhana tapi nikmat sekali. Tak terlupakan masa-masa kala itu. Terimakasih kawan.

Hujan turun mengguyur kunjungan kami saat itu, tak ingin terlewatkan masa-masa itu, mereka pun pergi mengunjungi tengah pantai sambil mandi hujan. Hujan deras dihiasi dengan petir dan halilintar yang menggelegar tak meredupkan semangat mereka saat itu. Aku hanya bisa terdiam di dalam pendopo sambil bernyanyi dengan kawan-kawan slankers dari Badak yang masih enggan membasahi tubuhnya dengan air hujan.

Hujan hampir reda, terdengar suara burung dilangit bersaut-sautan pertanda hujan akan berhenti. Kami pun memutuskan untuk pulang. Ku abaikan basahnya badan abangku, entah kenapa baju kering yang aku bawa langsung aku serahkan pada cannabis. Sungguh telah jatuh terlalu dalam kecerobohanku ini. Dan kami bergegas pergi kembali menuju Samarinda. Sungguh tak kusangka, aku harus menahan rasa sakit seperti ini. Perasaan yang terus aku tahan entah sampai kapan aku harus menahannya. Entah karena bodohnya aku, yang masih bertahan dalam keadaan seprti ini.

Disisi lain Allah memberikan aku balasan yang sesuai, aku menganggapnya ini adalah karma. Usaha kafe yang aku bangun dengan Bang Heri sama sekali tak membuahkan hasil, usaha tersebut tutup sebelum batas waktu pembayaran jatuh tempo. Aku mencoba mendesak Bang Heri untuk membayar hutangnya padaku, karena aku sedang memerlukan uang. Tapi Bang Heri hanya mengumbar janji dan ada bukti yang menyertai.
Kafe itu tutup, kami pun jarang bertemu. Hanya berkomunikasi melalui telepon, begitu juga dengan Cannabis. Aku terus menghubungi Bang Heri dan menuntuk hak’ku kembali. Mungkin ia kesal padaku, hingga pada saat terakhir kali ia mengembalian uangku, ia melemparkan uang itu tepat dihadapan mataku. Aku hanya bisa terdiam, dia Abangku. Aku berfikiran hubungan kita sudah pasti akan memburuk setelah kejadian ini, maka dari itu aku tak ingin memperpanjang masalah. Bukan karena nyaliku ciut atau apa, karena memang tak biasanya aku hanya terdiam seperti itu saat orang lain menyakitiku.

Dugaanku benar, dia menyindirku di jejaringan social facebook ataupun koprol. aku coba acuhkan tingkah laku bang Heri yang menyakitkan itu, ku coba untuk memikirkan kelanjutan kisahku dengan Cannabis yang tak kunjung menemui titik terang. Meski ia sempat mengajakku untuk jalan-jalan ketempat-tempat yang romantic. Hingga akhirnya ia mengajakku ke Pinang Seribu, tempat dimana ia pertama kali bibirnya menyentuh bibirku. Oh tidak, sakiit sekali kala mengingat hal itu.

Kulupakan dia, ku coba untuk menjauhinya. Meski aku sering mengintip profil facebooknya. Hubungan ini semakin keruh, saat kulihat komentar-komentar dia yang berdoa agar segera dipertemukan dengan pendamping hidupnya. Dari situ aku berfikir, berarti aku bukanlah wanita yang ia harapkan. Lagi dan lagi aku terdiam dan hanya bisa menangisi keadaan. Aku tak kuat, jujur aku tak kuat.
Norma lah yang terus mensupport aku untuk tetap bangkit dan berfikir positif. Kadang aku mendengarkan dia, tetapi kadang juga egoisku mengalahkan nasihat-nasihat dari dia.

Hingga suatu malam, Norma mengajakku untuk mengikuti Kopdar mini pengguna koprol di Puella Kafe. Sesak nafasku melihat Cannabis sedang asik bercanda dengan gadis cantik yang ikut dalam acara itu. Biar kutebak, Dessy nama gadis cantik itu. Rasa ingin meleleh jadi air yang mengalir hatiku. Aku duduk di pendopo, bersandar dan membelakangi dia. Berharap aku tak akan melihat  wajahnya lagi.
 Tak bisa kupungkiri, aku senang saat respon para peserta kopdar itu yang menerimaku dengan senang hati. Kulihat wajah tampannya Rizki, wajah lucunya Sams. Hingga tak lama aku duduk di pendopo itu, muncul seorang pria yang saat ini menjadi kekasihku, Marcekal. Awal pertemuan yang sangat unik, kulihat tingkah konyolnya yang nyaris salah meminum minumanku. Tak lama perbicaraan kami saat itu, maklumlah mungkin karena kami semua masih malu lantaran baru bertemu. Satu jembatan yang membuat hubungan itu berlanjut adalah, pertukaran account twitter kami. (mau ketawa ngingetnya).

Pertemuan keduaku dengan sayangku, adalah waktu kami mengikuti buka puasa bareng di panti asuhan. Tak kusangka ia menyimpan rasa padaku, karena memang tak terlalu nampak. Cukup rumit saat itu, Sams menyukaiku, tapi aku tak menyukainya. Aku menyukai Rizki, tapi Rizki tak terlalu meresponku. Hahahaha…. Sudahlah, dunia memang kejam !

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar kalian jika memang kalian ingin berkomentar. Asalkan komentar kalian tidak menggunakan kata-kata negatif ^_^